Ringkasan Eksekutif
Persoalan penanganan terorisme yang kompleks dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti tantangan jaringan teroris yang dinamis, faktor geografis yang menyulitkan, dan keterbatasan undang-undang yang menjadi landasan strategis negara dan justifikasi aparat penegak hukum. Saat ini, pemerintah dan banyak kalangan menilai bahwa peraturan perundang-undangan untuk menangani terorisme tidak lagi memadai dan perlu dilakukan perbaikan. Oleh karena itu, sejak awal tahun 2016 Pemerimntah mulai mengajukan revisi atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Selama proses perumusan revisi undang-undang tersebut, beragam sorotan dan problem muncul baik itu di dalam ruang sidang Panitia Kerja DPR RI maupun di tengah masyarakat. Salah satu isu penting yang mengemuka dalam proses revisi undang-undang tersebut adalah bagaimana upaya penanganan dan pemberantasan terorisme dapat berjalan tanpa mengurangi atau melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh negara maupun secara global.
Jika dilihat lebih cermat bagian, pasal, dan ayat yang tertuang dalam revisi undang-undang ter – sebut, terdapat ancaman serius bagi hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak tersangka dan hak atas proses peradilan yang jujur, yakni terkait persoalan: penangkapan, penahanan, pidana mati, penyadapan, dan pencabutan kewarga- negaraan. Upaya revisi atau perbaikan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut patut diperhati- kan agar RUU yang bertujuan untuk memper- kuat ketahanan negara dan masyarakat dalam menghadapi ancaman terorisme maupun bentuk ektremisme berbasis kekerasan lainnya tidak menjadi kontra-produktif.
Untuk mencegah munculnya potensi pelanggaran HAM dalam kandungan RUU ini, penulis secara khusus merekomendasikan ketentuan- ketentuan dalam RUU untuk dihapus, seperti perihal pencabutan kewarganegaraan pada pasal 12B Ayat 6, dan ketentuan mengenai ancaman pidana mati dalam pasal 6 dan 14. Di samping itu, beberapa ketentuan juga harus diperbaiki, seperti terkait pasal 31 mengenai pelaksanaan intersepsi atau penyadapan.
Berdasarkan pasal 31 tersebut, penyadapan wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan hanya dapat di- lakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Selain itu, pasal 28 dalam RUU tentang waktu/ masa penangkapan juga harus diperbaiki.
link : http://csave.org/product/ruu-terorisme-antara-upaya-penanganan-terorisme-dan-perlindungan-ham/