WGWC Talk #7 yang mengangkat tema yang diisi oleh dua orang pendamping napiter yang berada di dalam lapas, Ibu Nuraini Prasetiawati dan Suci Winarsih. Serta terdapat tiga orang penanggap Imam Nahe’I yang merupakan Komisioner Komnas Perempuan, Sri Puguh Budi Utami yang merupakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenkumham dan Rifana Meika yang merupakan peneliti di Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Agenda yang dimoderatori oleh Rizka Nurul Amanah (Ruang Ngobrol) kali ini mengangkat tema yang lebih spesifik yaitu “We Just Love What We Do” :Kisah Pendamping Narapidana Terorisme Perempuan dilaksakan pada Kamis (27 Agustus 2020) yang dimulai pada pukul 13.00 – 15.00 WIB diikuti oleh 54 orang.
Agenda dimulai dengan prolog agenda yang dibawakan oleh salah satu SC WGWC, AndrieTaufik. Secara singkat menjelaskan tujuan dari agenda WGWC talk #7 dan memperkenalkan secara singkat moderator. Selanjutnya, moderator memperkenalkan dua narasumber yang menjadi pamong dan wali napiter perempuan. Kedua narasumber yang mengalami kesulitan mendekati para napiter perempuan ini. Di saat yang bersamaan, para napiter yang dihadapi seringkali memberontak ketika didekati oleh petugas. Kedua narasumber melakukan pendekatan dengan berkomunikasi dengan orang-orang terdekat para napiter.
Hal itu membuat para napiter yang ditangani para narasumber bisa lebih terbuka. Namun, para napiter perempuan seringkali menolak dengan adanya petugas laki-laki. Beberapa pelatihan tentang psikologi sudah para pendamping terima namun untuk masalah keagamaan para pendamping dan wali belum mendapatkan pelatihan.
Pandangan keagamaan ini dimaksud untuk bisa menyeimbangi ketika napiter ini mengamuk dan membawa sejumlah ayat al-quran. Khususnya untuk di Bandung, dosen UIN Bandung sempat mendatangi lapas dan hal itu ternyata membuat napiter sedikit terbuka. Para wali dan Pamong ini juga seringkali memberikan pembekalan bagi para napiter mandiri setelah keluar dari lapas. Misalkan Ummu Hapzah yang menjadi terapi bekam sebagai bekal untuk dirinya keluar dari lapas.
Mendengarkan pemaparan dari kedua narasumber, Sri Puguh Budi Utami menjelaskan jika para pamong dan wali diatur dalam Undang-undang pemasyarakatan pada 2019. Serta untuk penanganan napiter diatur dalam undang-undang terorisme pada 2018. Selain itu, dirinya menjelaskan jika kapasitas lapas di sejumlah tempat sudah melebihi kapasitas.
”Jumlah tahanan dan napi di Indonesia jumlahnya mencapai 271.209 orang, atau setara 106 persen dari kapasitas ruang tahanan. Kondisi ini biasa disebut over-kapasitas. Dari 33 kantor wilayah, hanya Kanwil Yogyakarta, Kanwil Maluku Utara, dan Kanwil Sulawesi Barat yang tidak melebihi kapasitas,” katanya.
Selanjutnya, Rifana Meika mengungkapkan jika semua lapas belum memiliki pedoman untuk penanganan napiter. Sehingga, dibutuhkan pelatihan bagi lapas untuk menghadapi napiter. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh YPP, di mana napiter ini tidak ditempatkan di ruang osilasi. Tidak ditempatkan napiter di ruang isolasi ini dapat mengindikasi napiter untuk melakukan doktrin kepada napi lainnya. Hal ini menjadi masalah baru di dalam sel.
”Hal lainnya, di dalam sel baiknya para petugas bisa menunjukan diri kepada napiter siapa yang berkuasa di dalam lapas, hal ini berguna agar para napiter mengetahui posisinya dan bisa mematuhi aturan yang ada di dalam lapas,” ungkapnya.
Terakhir, dari Imam Nahe’i (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan jika para wali dan pamong melakukan pendekatan non-diskriminasi kepada para napiter perempuan ini. Belum masuk kepada pendekatan HAM. Keimanan dari para napiter ini belum disentuh oleh para wali dan pamong. Sehingga, sangat penting kedepan untuk membuat roadmap untuk mengukur tingkat ekstremisme napiter ini berkurang.
”Selain itu, napiter perempuan apakah menjadi korban atau pelaku? Di komnas perempuan ini pernah dibahas, Komnas memandang jika napiter perempuan ketika ditangkap dan ditahan menjadi korban dengan berbagai faktor,” katanya.
Agenda ditutup dengan pemberian harapan apa yang ingin didapat oleh para wali dan pamong. Keduanya sepakat meminta untuk mendapatkan pelatihan tentang pandangan keagamaan atau minimalnya buku saku tentang pandangan keagamaan. Serta dibantu dengan adanya ustad yang memberikan pemahaman keagamaan kepada para napiter perempuan. Setelah itu, pihak SC memberikan apresiasi kepada para wali dan pamong yang sudah bekerja keras dalam sector reintegrasi dan rehabilitasi.