Jakarta-Aliansi Indonesia Damai (AIDA) kembali menggelar diskusi dan bedah buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), awal bulan lalu. Selain menghadirkan Hasibullah Satrawi selaku penulis buku, kegiatan yang digelar secara virtual itu juga menghadirkan pakar kajian terorisme, Solahudin, dan beberapa narasumber lain.
Menurut Solahudin, kelompok ekstrem di Indonesia cenderung menggunakan dalih agama untuk membenarkan aksi-aksinya. Salah satu konsep ekstremisme yang dinilai tidak tepat adalah konsep baiat yang dijadikan sebagai syarat keislaman individu. Vonis kafir disematkan kepada mereka yang menolak baiat terhadap sosok yang telah dianggap sebagai imam. Padahal menurut Solahudin, baiat tidak seharusnya menjadi persoalan akidah.
Dalam pandangannya, pengkafiran terhadap seseorang seharusnya dilandaskan pada faktor akidah, yang mana telah termaktub dalam rukun iman. Konsep baiat lebih cocok masuk ke dalam pembahasan fiqhu siyasah atau fiqih politik. Fiqih membahas perkara-perkara yang bersifat furu’ (cabang) di mana perbedaan pendapat adalah kewajaran.
“Contohnya, banyak sahabat ketika khalifah sudah dilantik, mereka tidak berbaiat. Ada sahabat-sahabat yang seperti itu. Misalkan Ali bin Abu Thalib, ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah itu belum berbaiat, ia menunda waktu baiatnya. Jadi tidak berarti bahwa baiat itu menjadi syarat keislaman seseorang,” ucap Solahudin kepada ratusan mahasiswa Umsida yang mengikuti kegiatan.
Solahudin berharap agar mahasiswa lebih berhati-hati dan tidak mudah terdoktrin dengan pemahaman-pemahaman ekstrem. Dia mengingatkan pentingnya memahami Islam secara baik agar mengetahui proporsi yang tepat dalam beragama.
Senada dengan hal tersebut, Hasibullah mengatakan bahwa mahasiswa harus memiliki sumber bacaan yang cukup agar memiliki keluasan berpikir. Sarana-sarana diskusi yang selama ini berkembang di kampus juga bisa terus dihidupkan.Kendati demikian, Hasibullah mengingatkan bahwa kebebasan berpikir haruslah dibatasi ketika sudah mengarah kepada aksi kekerasan. Hal ini ia kaitkan dengan konsep ahsanu taqwim, di mana sejatinya setiap individu telah diciptakan oleh Allah sebagai sebaik-baiknya ciptaan.
Karena itu, konsep berpikir harus dilandaskan pada tujuan untuk merawat diri agar lebih baik lagi, termasuk secara pikiran dan tindakan. Jangan sampai kebebasan berpikir diartikan untuk merusak dan memperburuk diri sendiri atau orang lain.
“Silakan Anda membebaskan pikiran, tapi manakala idealisme itu sudah membolehkan kekerasan, saya cenderung menyarankan, hati-hati Anda di situ. Kalau perlu tolehkan. Kecuali Anda siap untuk melakukan kekerasan. Karena kekerasan itu menyakitkan. Kembalikan kepada konsep ahsanu taqwim,” ujar Hasib menegaskan.
Sumber : https://www.aida.or.id/2020/10/7663/agar-mahasiswa-tak-terpapar-ekstremisme