Mengapa Siswa Kita Menjadi Radikal?

WGWC Talk #11 mengambil tema “Mengapa Siswa Kita Menjadi Radikal?” dengan menghadirkan 3 orang narasumber yang sempat menjadi aktifis rohis di SMA, yaitu Ela,Isnaeni dan Wahyu. Agenda yang dipandu oleh Taufik Nurhidayatullah dihadiri oleh 85 orang peserta. Agenda yang dilakukan melalui zoom ini dilaksanakan pada Kamis (24 September 2020).

Pada sesi pertama ada banyak latarbelakang para narasumber memiliki alasan untuk mengikuti rohis. Ela menuturkan jika dirinya merasa kreatifitas anggota Rohis sangat menarik ketika masuk SMA. Sedangkan Isnaeni mengungkapkan jika dirinya seringkali merasa terasingkan jika berada dengan teman-teman yang lainnya karena penampilannya yang pakaian yang lebih syar’i. Isnaini mencari lingkungan yang bisa menerima dirinya dengan penampilan tersebut. Sedangkan, Wahyu yang berada di lingkungan Islam Kejawen dan sekolah di SMA favorit melihat rohis menjadi organisasi yang menarik.

Mengapa Siswa Kita Menjadi Radikal?

Namun, ditengah jalan ketiganya melihat ada yang berbeda. Misalkan Ela merasa ada banyak ajaran islam yang cukup ekslusif dibawa oleh para senior. Salah satunya dalam penggunakan jilbab. Serta ketika dirinya ada di dalam rohis, ada beberapa anggota lainnya yang sudah berada di lingkungan HTI. Hingga akhirnya mencari pembenaran lainnya dari seorang guru di sekolah tentang apa yang didapat di lingkungan rohis.

Sedangkan Isnaeni mengikuti agenda peacegen yang mulai merasa tercerahkan dan melihat banyak hal yang lebih berbeda. Menurutnya, rohis menjadi pengalaman berharga untuk dirinya saat ini. Terakhir, Wahyu yang besar mulai merasa ada banyak pemikiran baru ketika dirinya mulai masuk kuliah.
”Ada banyak dosen yang membuat pikirannya terbuka, itu membuat pemikiran saya semakin terbuka,” terangnya.

Di sisi lain, Wahyu juga memiliki pengalaman buruk ketika dirinya menjadi anggota rohis, di mana dirinya harus disidang oleh seluruh senior di Rohis karena dirinya melanggar satu aturan yang diterapkan. Mulai saat itu, dirinya mulai tidak menuruti beberapa aturan di rohis.

Mendengarkan cerita para narasumber, para penanggap Akhyar sebagai dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila yang menjadi dosen Fakultas Psikologi mulai menceritakan sejumlah temuan yang ditemukan dimana pada masyarakat Indonesia membutuhkan identitas religus.

”Serta di mana para guru menyukai anak-anak rohis yang dianggap lebih religius yang tidak dianggap nakal. Untuk penerapan early warning system di mana bisa diaplikasikan melalui kurikulum dan ekstrakurikuler,” ungkapnya.

Sedangkan penanggap lainnya, Siti Kholisoh yang merupakan staf media senior Wahid Foundation mengatakan selama ini Wahid melalui Rohis membangun critikal thinking di kalangan anak-anak ini, lalu diperkuat dengan aspek relasi sosial antar pertemanan mereka. Bahwa kemudian dia mendehumanisasi temennya yang tidak berjilbab, mendehumanisasi teman-temannya yang berbeda keyakinan.

”Dengan begitu, mereka bisa menyaring konten yang sekiranya tidak mendehumanisasi, mendiskriminasi, intoleransi, dan kemudian menganggap mereka atau dirinya benar dan orang lain salah,itu di titik dimana kita ga bisa mengkompromi disini,” terangnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top