Pendamping Juga Manusia: Cerita di Balik Rehabilitasi dan Reintegrasi

#Refleksi WGWC Talk #4

Narasi terkait radikalisme dan terorisme jarang menyorot pengalaman dari sisi seorang pendamping. Pendamping dengan pekerjaan pendampingannya memiliki andil yang penting selama proses rehabilitasi dan reintegrasi korban dan “mantan”. Pendamping adalah pihak terdekat yang berinteraksi dengan mereka, dan tentunya pendamping memiliki sisi-sisi kemanusiaan dalam berinteraksi dengan kliennya. Diskusi WGWC #4 mengundang tiga narasumber untuk berbagi pengalaman pendampingan yaitu Ibu Sri Wahyuni dari Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani-Kementerian Sosial; Ibu Mega Priyanti, Fasilitator Lapangan Yayasan Empatiku dan Mas Syafiq Saerozi, Program Manager Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Pendiri Komunitas Perlindungan Perempuan dan Anak Nusantara (KOPATARA) yaitu Ibu Hikmah Bafaqih menjadi moderator diskusi. Diskusi ini diikuti oleh sekitar 72 peserta dari berbagai kalangan.

Pendamping Juga Manusia: Cerita di Balik Rehabilitasi dan Reintegrasi

Pengalaman-pengalaman menarik terkait suka dan duka dari para narasumber selama proses pendampingan diantaranya; mereka kerap mengalami stigmatisasi, misalnya pendamping dikatakan kafir oleh klien, atau dianggap pengkhianat bangsa dan bagian dari teroris oleh lingkungan sekitarnya. Pekerjaan pendampingan memang pekerjaan yang tak mengenal tanggal merah, namun masing-masing narasumber memiliki supporting system yang senantiasa mendukung dan menguatkan yaitu pasangan dan anak. Berbagai kesan dirasakan oleh pendamping saat mulai melihat adanya perubahan positif dari kondisi klien, keikhlasan dan semangat korban untuk bangkit dari keterpurukan juga memberi pelajaran hidup tersendiri bagi pendamping. Faktor kemanusiaan untuk membantu seseorang menjalani kehidupan dengan lebih baik dan kesadaran masih perlunya advokasi di tingkat struktural untuk upaya perbaikan hidup korban adalah dua hal yang menjadi dorongan bagi para pendamping tetap melakukan pekerjaannya.

Dalam proses pendampingan, kesabaran adalah poin penting yang harus dimiliki terutama dalam menghadapi situasi yang kompleks seperti penolakan atau bahkan dampingan yang kembali masuk rehab. Ketelitian menjadi poin penting selanjutnya, bahwa pendamping harus peka terhadap situasi korban dan apa kebutuhan korban, di sini pendekatan dengan beragam cara diperlukan. Kemudian, pendamping juga harus kreatif dalam menemukan cara dan melakukan intervensi, misalnya pendekatan dengan memosisikan diri sebagai teman atau pun orang tua serta memperluas jejaring untuk membantu klien. Pendamping harus mematuhi kode etik dan SOP, walau kadang sering mengalami dilema antara harus rigid atau humanis. Pelajaran penting dari kesalahan pendampingan yaitu untuk tidak masuk secara mendalam pada permasalahan klien dan untuk tidak terlalu mengintervensi, hal ini agar tidak membatasi kreativitas dan kemandirian klien serta tidak membuat ketergantungan baru.

UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang telah memuat pasal dan ayat yang memperhatikan kebutuhan korban, namun dalam realisasi di lapangan ternyata belum maksimal mengakomodir kebutuhan korban. Diperlukan sinergitas yang kuat dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dalam upaya rehabilitasi dan reinterasi ini. Pemerintah perlu memberi perhatian lebih, salah satunya dengan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah terkait sinergitas dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi.

Rekomendasi untuk pemerintah dan para pemangku kepentingan adalah perbaikan SOP rehabilitasi dan reintegrasi yang lebih sensitif dan lebih fleksibel menyesuaikan kebutuhan lapangan yang berbeda-beda. Sinergitas dan kerjasama di tingkat daerah sangat penting untuk monitoring dan dampak jangka panjang. Peserta diskusi juga merekomentasikan bahwa untold story seperti ini perlu didokumentasikan, misalnya dalam bentuk buku. Selain itu, perihal dampak nyata terorisme dan radikalisme ini perlu disadari lebih luas oleh masyarakat dan anak muda khususnya, misalnya menggandeng komika atau publik figur untuk mengangkat suara para pihak terdampak dan mereka yang bekerja di bidang pendampingan ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top