Kompensasi Korban Terorisme, Masih Setengah Jalan

Jakarta – Cerita tentang korban bom terorisme ternyata masih belum banyak diungkap. Isu korban dan pemenuhan hak korban hanya berlangsung ketika terjadi bom saja. Setelahnya, tidak banyak yang mengungkap keadaan para korban bom. Hal itu diungkap oleh Riri Khariroh, direktur eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA).

”Media dan negara isu korban ini bukan hal yang seksi. Karena kemarahan negara dari seluruhnya menyoroti pelaku dan orang-orang yang terlibat. Isu korban ini agak terabaikan, kalau kita terabaikan siapa yang paling dirugikan adalah suara korban. Mereka menjadi disabiltas, kehilangan orang yang dicintai dan lainnya,” ucap mantan komisioner Komnas Perempuan dalam agenda WGWC Talk ”Jalan Senyap Menuju Keadilan”, belum lama ini.

Kompensasi Korban Terorisme, Masih Setengah Jalan

Diakui olehnya, para korban bom masih banyak mengalami taurama dan harus melakukan pemulihan luka tersebut. sehingga, pihaknya tidak bisa membuat mereka bersuara terkait apa yang dirasakan. Misalkan, korban bom Bali yang masih meminum pil hingga saat ini. Dari segi kesehatan masih banyak bermasalah. Hal-hal seperti ini perlu disupport negara dan masyarakat.

Menurutnya, untuk kompensasi tidak bisa menjawab keadilan dari para korban itu sendiri. Tujuan utama dari penguatan korban adalah suara korban berdampak pada propaganda kelompok terorisme itu. narasi korban ini menjadi kuat di pengadilan dan di masyarakat. Narasi korban di masyarakat ini sangat penting, karena hal ini bisa berdampak pada penolakan ideologi yang dibawa oleh para terorisme.

”Isu kompensasi ternya di masyarakat timbul jealious terhadap korban bom. Sikap-sikap seperti ini, masyarakat perlu diedukasi agar hal-hal seperti ini tidak terjadi. Serta masyarakat bisa menggalang solidaritas kepedulian kepada para korban,” ungkapnya.
Di saat yang bersamaan, Direktur Perlindungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Herwan Chaidir, menjelaskan pihaknya sudah beberapa hal dengan LPSK terkait pemulihan korban terorisme. ”Kita menghimbau agar presiden segera menandatangi PP nomor 7 tahun 2018,” ucapnya.

Sebagai informasi yang himpun, saat ini PP nomor 7 tahun 2018 ini masih di proses di Kementerian Sekretariat Negara. Pihaknya sudah mengumpulkan beberapa stakeholder untuk bertanya sejauh mana perkembangan PP tersebut untuk segara terbit.
Dia menegaskan selama ini, jika data yang dimiliki oleh LPSK satu suara dengan BNPT. Pihak BNPT pun telah melakukan pelayanan kepada penyintas serta telah bekerjasama dengan berbagai kementerian untuk menyalurkannya. Misalkan, bantuan kemensos untuk para korban, beasiswa bagi anak-anak korban terorisme ini sudah disalurkan. Adapun beberapa hal tentang kompensasi korban, itu dilakukan oleh LPSK.

”Ada harapan dari korban yang harus berobat seumur hidup tapi LPSK hanya memberikan pengobatan selama 3 tahun. Hal ini akan dikaji secara akademis oleh BNPT. Untuk kompensasi, berupa ganti rugi negara kerugian akibat terorisme namun putusannya pihak LPSK yang akan mengeksekusi. Pihak BNPT hanya melakukan support data saja,” terangnya.

Terakhir, korban terorisme 2004, Nanda Olivia menceritakan pihaknya telah menjalani perawatan konstruksi tangan di Australi. Cerita kompensasi dari negara, awalnya hanya dianggap sebuah becandaan tentang beberapa kerugian korban bom. Namun, dengan seringnya berkomunikasi dengan para korban lainnya, dirinya baru mengetahui tentang kompensasi korban bom terorisme.

”Untuk korban bom terorisme kedutaan Australi 2004 masih belum mendapatkan kompensasi, tapi kami sudah mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah,” katanya.

Pihaknya berharap kompensasi bagi para korban segara dituntaskan untuk semua kasus terorisme. Diakui olehnya, para penyintas masih banyak yang mengeluhkan luka akibat teror bom yang dialami oleh mereka. ”Setelah sekian belas tahun, masih merasakan luka akibat yang mereka rasakan,” pungkasnya.

Sebagai informasi, WGWC telah dua tahun melakukan konsolidasi gerakan di tingkat nasional dan daerah, saat ini hadir WGWC Talk dilakukan secara online untuk lebih luas menjangkau masyarakat. Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) mengangkat isu ekstremisme dengan perspektif perempuan dengan melibatkan 24 patner yang ada di bekerja di ekstremisme kekerasanm baik pemerintah dan masyarakat sipil. WGWC percaya bahwa jika perspektif gender diterapkan dengan maksimal dan menjadikan gender equality dan pemberdayaan perempuan dalam strategi nasional, maka kebijakan dan intervensi program akan lebih efektif dan menyasar kepada pihak yang tepat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top