Perjalanan untuk sampai dan bergabung menjadi bagian dari Daulah Islamiyah (ISIS) tidak cukup hanya niat yang bulat saja, tetapi dibutuhkan fisik dan mental yang tahan banting. Khususnya dibutuhkan ketahanan batin yang sekokoh baja, untuk menahan kecewa ketika harapan hidup di “Bumi Allah”, yang ditemui justru sebuah kawasan yang sedang perang, dimana rakyatnya hidup dalam ketakutan, intimidasi, kesengsaraan, keterbatasan air bersih-listrik-makanan-tempat tinggal, pelecehan seksual pada perempuan dan anak perempuan dan kriminalitas yang tak ada hentinya.
Febri Ramdani, si penulis sekaligus tokoh utama dalam buku ini, juga sangat apik menggambarkan perjuangan seluruh keluarganya untuk kembali ke tanah air. Mereka harus mengeluarkan puluhan ribu dollar Amerika, hasil menjual seluruh harta benda mereka di Indonesia, untuk bisa kembali ke tanah kelahirannya.
Meskipun terlihat sangat tebal yaitu 291 halaman, Buku berjudul “300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS”, ditulis dengan gaya novel yang sangat ringan, sehingga membuat pembaca seperti saya tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan seluruh bagian dari buku ini dalam waktu tidak lama. Kemampuan Febri yang natural merekam dengan baik setiap perjalanan hidup dia mencari keluarganya yang telah lebih dulu meninggalkan Indonesia untuk hijrah ke Suriah. Tidak seperti ke 26 rombongan, termasuk keluarganya yang memiliki harapan besar pada ISIS untuk menyelesaikan masalah pragmatis kesehatan dan keuangan mereka, Febri tidak memiliki motivasi ideologis bergabung dengan ISIS. Ketika hidupnya sendiri dan tidak ada keluarga tempat bernaung lagi di Indonesia, Om Bow, orang kepercayaannya Pak Hidayat, suami kakak Febri, memfasilitasinya untuk berangkat menyusul keluarganya.
Bagian cukup mengesankan dan pengalaman baru bagi saya adalah perjalanan dari Turki menuju Kota Raqqa, yang merupakan jantung kekuasaan ISIS. Febri bersama para “muhajir” dari berbagai negara seperti German, Irak, Arab, Turki dan lain-lain, yang beruntung selamat dari pantauan keamanan Suriah, difasilitasi oleh para kurir ISIS untuk bisa melewati daerah kekuasaan Suriah, sebelum mencapai wilayah teritori ISIS. Menurut tuturan Febri, para pencari harapan ini harus menempuh medan yang berat berjam-jam, melewati perbukitan dengan berbagai keterbatasan. Termasuk ancaman jatuh ke tangan musuh-musuh ISIS, salah satunya adalah Jabhat Al-Nusra (JN), adalah kelompok milisi dan cabang Al Qaeda yang sedang bertempur di Suriah melawan Presiden Bashar Assad, tetapi lebih memilih tidak gabung dengan ISIS.
Meskipun bergelut dengan sakit, medan yang berat dan keterbatasan fasilitas, Febri tetap bertekad bulat menemukan keluarganya. Tidak seperti banyak laki-laki yang begitu masuk teritori ISIS, mereka langsung diminta untuk mengikuti wajib militer dan mengikuti kelas agama. Febri, diuntungkan dengan kondisi kesehatan dia yang buruk dan keinginan bertemu dengan keluarganya, sehingga dia mendapatkan dispensasi. Dengan berbagai upaya keluarga, Febri akhirnya tidak dikembalikan ke camp untuk mengikuti wajib militer dan pendidikan agama.
Pertemuan dengan keluarga yang sudah meninggalkannya selama 1,5 tahun ini adalah momen mengharukan dalam buku ini, saya sedikit cuplik bagian ini:
“Di hunian itu, saya kembali melihat Bunda dan Kakak yang sudah hampir 1,5 tahun tidak bertemu. Dada saya pun kermbali berbedar melihat mereka. Kerindunan yang teramat dalam bergemuruh dalam hati. saya yang berusaha menahan supaya tidak mengeluarkan air mata akhirnya pecah juga setelah memeluk Bunda dan Kakak. Ini momen mengharukan dalam hidup saya. Pertengkaran yang dulu sempat terjadi antara saya dan kakak hingga kami tak bicara terlupakan begitu saja…”
Faktor kekompakan di keluarga Febri inilah yang membuat mereka akhirnya bisa meninggalkan Kota Raqqah, dengan tebusan ribuan dollar dan beberapa kali ditipu oleh para smuggler. Uang itu adalah hasil menjual semua harta benda keluarga sebelum berangkat dari Indonesia. Intinya keluar dari Kota Raqqah yang sudah hancur karena perang tidaklah mudah. Apalagi cap pendukung ISIS membuat proses pelarian diri, terhambat dengan berbagai prosedur introgasi yang tidak ada habisnya, baik dari pihak The Syrian Democratic Forces (SDF), yang beroperasi di dekat perbatasan, sampai di tangan pemerintah Indonesia. Seluruh tahapan intrograsi itu untuk memverifikasi setiap orang yang dikembalikan ke Indonesia, memiliki riwayat yang jelas keterlibatan dengan ISIS.
Febri juga cukup fair memotret bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam misi penyelamatan dia dan ke tujuh anggota keluarganya, sampai ke tanah air yang menerapkan prinsip kemanusiaan, HAM, dan pendekatan soft approach untuk membuat setiap orang nyaman dan kooperatif dalam mengikuti prosedur Pre-departure assessment yang dilakukan dengan lapis per lapis. Tindakan pendataan secara detil, dan terpilah kemungkinan bukan saja melihat sejauhmana keterlibatan Febri dan keluarganya dalam jaringan ISIS, tetapi juga untuk mengidentifikasi “siapa yang harus bertanggungjawah”.
Proses rehabilitasi dan reintegrasi begitu sampai ke tanah air ada dalam kordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), juga dilakukan dengan cukup sistematis, sebelum pengembalian ke masyarakat. Bahkan pemerintah Indonesia juga memberikan dukungan awal berupaa fasilitas rumah, skill wirausaha dan sedikit modal, agar keluarga Febri segera bisa memulai kehidupan barunya. Meskipun akhirnya BNPT harus menentukan dua orang anggota keluarga Febri menjalani proses hukum karena dianggap yang paling bertanggungjawab.
Saya senang sekali penulis juga mengeksplorasi pengalaman perempuan dan anak perempuan yang ada di teritori ISIS, karena mereka tidak diwajibkan berperang. Sehingga pengalaman hidupnya berbeda. Misalnya hisbah (polisi) bisa saja menangkap perempuan yang tidak menggunakan standard pakaian syar’i ISIS, yaitu jubah hitam, kerudung hitam dan cadar yang juga hitam. Juga tidak jarang dorongan dan sedikit cibiran “belum jihad” bagi perempuan lajang. Meskipun perlu lebih banyak melihat bagaimana para perempuan yang tidak sepakat dengan ISIS melakukan negosiasi dan resistensi setiap detiknya agar bisa bertahan hidup, tetapi tetap dengan pendirian mereka.
Dari membaca buku ini, saya bisa menarik sejumlah pembelajaran yaitu; pertama, tidak ada motif tunggal pada setiap kasus WNI pergi ke Syriah untuk bergabung dengan ISIS. Olehkarenanya respon terhadap mereka tidak boleh seragam, memiliki data based yang terpilah, akan menghantarkan pada intervensi yang lebih akurat dan efektif; kedua, faktor ikatan kekeluargaan tidak sedikit mempengaruhi keinginan seseorang untuk berangkat. Tetapi faktor kekeluargaan inilah yang juga mempengaruhi keputusan untuk dis-engagement dengan masalah. Tanpa kasih dan cinta keluarga, Febri tidak akan selamat dari wajib militer dan kembali ke tanah air, meskipun faktor ikatan keluarga pulalah yang membawa Febri ke Syria.
Ketiga, berpikir kritis untuk bertanya antara keindahan propaganda dengan kenyataan kehidupan di Kota Raqqah dimana ISIS berkuasa seharusnya bisa dilakukan sejak awal dengan kecanggihan internet. Ini akan berguna buat para simpatisan yang memiliki kepentingan pragmatis bukan ideologis, karena melihat gambaran yang begitu rumit untuk masuk ke dan keluar dari teritori ISIS.
Tantangan ke depan adalah justru ada di masyarakat luas, tentang kesiapan menerima orang-orang dengan kategori seperti Febri dan keluarganya untuk mengukir hidup baru mereka, memiliki harapan kedua ketika kembali ke tanah air. Mereka punya hak untuk mencintai Indonesia kembali.