Tasik – Peristiwa ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Mei 2017 silam tak akan pernah bisa dilupakan oleh Nugraha Agung Laksono. Agung merupakan salah seorang korban dari serangan mematikan tersebut. Ledakan itu tak hanya terjadi sekali, tetapi dua kali. Agung menjadi korban dari ledakan kedua usai berusaha menolong korban ledakan pertama.
Masih teringat jelas dalam benak Agung, malam itu ia mendengar suara ledakan dari arah halte Transjakarta. Agung sempat menyangka ada tabung gas meledak di warung kopi. Namun tak berselang lama ada teriakan “bom… bom… “ . Spontan Agung berusaha menolong para korban yang terluka.

“Saya melihat seorang polisi meminta tolong untuk dicarikan kendaraan. Saya berinisiatif menyeberang jalan untuk menyetop angkutan kota untuk membawa korban ke rumah sakit,” ujar Agung ketika menjadi narasumber dalam kegiatan AIDA di Kabupaten Tasikmalaya, Februari lalu.
Setelah berhasil mengevakuasi seorang korban, ia masih berusaha menolong lainnya. Namun saat itulah terjadi ledakan bom kedua. Serpihan bom mengenai beberapa bagian tubuhnya. Ia pun berusaha berlari menjauh dari lokasi ledakan dengan kondisi kaki kanan yang berdarah. Awalnya Agung berpikir hendak menuju rumah sakit. Namun ia memilih pergi ke warung kakak iparnya.
Saat ia berjalan, terasa tiap langkahnya semakin berat, hingga Agung ambruk. Di tengah kepasrahan, beruntung seorang temannya yang pada saat itu tengah mencari Agung bertemu dengannya. Agung pun dievakuasi ke rumah sakit. Selama sepuluh hari ia dirawat inap dan dua bulan menjalani rawat jalan. Pemeriksaan medis menyatakan urat tendon kaki kanan putus. Pada kulit tangannya banyak bekas luka bakar karena terkena serpihan. “Dokter minta saya pakai tongkat 6 bulan, saya pakai tongkat tapi gak betah akhirnya dilepas, saya belajar jalan lagi,” ucap Agung mengenang.
Saat ini Agung masih sering merasakan dampak dari ledakan, terutama kaki kanannya yang mudah kram dan kesemutan jika berdiri lama tanpa bergerak. Ia juga sempat merasa marah kepada pelaku terorisme, karena merasa tidak mempunyai masalah dengan pelaku. Tanpa disangka sang pelaku justru melukai dan membuat perekonomian keluarganya terganggu. Agung sendiri telah membantu perekonomian keluarganya semenjak ayahnya wafat pada tahun 2010.
Seiring waktu Agung memilih bangkit dari rasa sakit dan penderitaan. Setahun pasca kejadian, ia memutuskan kembali bekerja sebagai sopir angkutan kota. Agung tidak ingin menjadi beban bagi keluarganya, sebaliknya ingin tetap berjuang membantu perekonomian keluarga. Agung pun mengakui sempat mengalami trauma berada di lokasi kejadian, namun ia berusaha melawan rasa takut dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi.
“Saya ikhlas atas semua yang terjadi. Kalau kita terus marah tidak membuat semuanya berubah. Tidak membuat luka saya sembuh,” ungkap anak keempat dari lima bersaudara itu. Menurut Agung, sikap ikhlas telah membawanya menjadi pribadi yang lebih tenang dan lega dengan semua yang telah terjadi.