28.4 C
Jakarta
Senin, 9 September 2024

Penanganan Anak Simpatisan ISIS

Pemerintah telah mengeluarkan keputusan untuk memulangkan warga negara Indonesia anak simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang berusia di bawah 10 tahun dengan ketentuan khusus (case by case). Ini merupakan keputusan yang bijak, mengingat kondisi mereka di kamp pengungsian sangat memprihatinkan. Selain itu, banyak anak sudah kehilangan orang tuanya.

Ini juga menunjukkan pemenuhan kewajiban negara terhadap warga negaranya. Undang-Undang Kewarganegaraan kita mengikuti asas ius sanguinis (law by blood). Anak yang lahir dari orang tua WNI, salah satu orang tua WNI, status pernikahan orang tua resmi ataupun tidak, dan lahir di Indonesia ataupun tidak, status kewarganegaraan anak itu adalah WNI. Status ini melekat hingga mereka berusia 18 tahun walaupun orang tua mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya.

Perlindungan terhadap mereka mengacu pada Undang-Undang Hubungan Luar Negeri yang mewajibkan pemerintah memberikan perlindungan dan mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia. Selain itu, penjelasan atas Undang-Undang Kewarganegaraan menyebutkan soal asas perlindungan maksimum, yang mewajibkan pemerintah memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apa pun, baik di dalam maupun luar negeri.

Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Undang-undang itu juga menyebutkan 15 kategori anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, termasuk “anak dalam situasi darurat” dan “anak korban jaringan terorisme”. Pada kondisi WNI anak simpatisan ISIS, dua kategori terpenuhi. Maka, keputusan pemerintah yang hanya akan memulangkan anak dalam batas usia dan kondisi tertentu perlu dipertanyakan dasarnya. Mengapa hanya mereka? Bagaimana dengan anak-anak lainnya?

Rencana pemulangan anak masih memunculkan kekhawatiran karena faktor keamanan dan paparan radikalisme yang telah mereka terima. Terlebih muncul pernyataan pejabat publik yang menggeneralisasi, seperti menyebutkan bahwa mata anak-anak WNI di Suriah tajam-tajam dan seperti mau membunuh. Opini semacam ini bisa menjadi senjata penolakan ketika mereka dipulangkan nanti.

Generalisasi seperti itu meletakkan semua WNI anak di Suriah pada posisi dan peran yang sama. Padahal peran anak dalam kelompok ISIS sangat beragam. Ada yang dimanfaatkan menjadi kombatan dan alat pendukung aksi. Namun ada juga yang diperdagangkan untuk dinikahkan dengan kombatan dewasa.

Berdasarkan perbedaan tersebut, penanganan mereka tidak lebih mudah dibandingkan dengan orang dewasa simpatisan ISIS. Banyak hal yang juga harus dilakukan oleh pemerintah. Membuka komunikasi dengan pemegang kendali di wilayah terkait adalah langkah awal yang harus segera dilakukan supaya pemerintah memiliki akses untuk masuk ke wilayah kamp pengungsian dan memeriksa kondisi anak-anak itu, termasuk memastikan jumlahnya.

Selanjutnya, pemerintah harus melakukan pemeriksaan awal. Pastikan berapa jumlah anak berdasarkan pembagian jenis kelamin. Berapa anak yang masih memiliki orang tua, berapa yang tidak. Pastikan kadar radikalisme mereka. Berapa anak yang telah menerima pelatihan paramiliter, berapa yang belum, dan berapa anak yang menjalankan peran lain di sana? Lakukan juga pemeriksaan terhadap fisik dan psikis mereka.

Pemilahan kategori berdasarkan hasil pemeriksaan perlu dilakukan karena penanganan terhadap mereka tidak bisa sama. Pemerintah juga harus menetapkan apakah penanganan terhadap mereka akan dilakukan dengan pendekatan litigasi atau non-litigasi.

Upaya pemerintah perlu dilakukan dalam koordinasi yang berdasarkan pada standar operasional yang diatur di bawah kerangka berkekuatan hukum. Fungsi dan peran kementerian/lembaga dalam penanganan harus diatur dengan mekanisme yang baik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme selaku lembaga koordinator harus bisa mengkoordinasi pembuatan mekanisme yang tersusun rapi dan berkesinambungan, dari hulu sampai hilir. Pelibatan kementerian/lembaga harus jelas tugasnya. Dari segi anggaran pun harus jelas perencanaan, pemantauan, dan evaluasinya.

Perlu pula dipastikan apabila mereka telah selesai menjalankan semua proses, ke mana mereka akan dikembalikan. Siapkan keluarga dan masyarakat yang akan menerimanya. Pendampingan selama proses reintegrasi ini juga harus terus dilakukan secara ketat.

Perlu diingat bahwa yang ditangani adalah anak. Jadi, segala program yang dirancang harus memperhatikan pendekatan yang ramah anak dan pemenuhan hak anak. Namun kehati-hatian pun tetap diperhatikan. Pendampingan perlindungan untuk para petugas yang menangani harus disiapkan. Ini menunjukkan bahwa negara tidak menihilkan ancaman atas paparan radikalisme yang telah tertanam di diri anak yang ditangani maupun ancaman yang dapat datang dari luar.

Terakhir tapi tak kalah penting adalah komunikasi politik pemerintah harus baik. Stigma dan penolakan di masyarakat akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Pejabat publik perlu berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Strategi komunikasi mengenai hal ini pun sudah harus disiapkan karena senyap tidak selalu membawa damai, tapi ramai pun tidak selamanya baik.

TERBARU

Konten Terkait