Amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana yang telah dituliskan dalam Pasal 90 tentang Aturan Peralihan dalam Undang-Undang ini, bahwa paling lambat 2 tahun setelah tanggal pengesahan harus ada aturan-aturan turunannya untuk menggantikan aturan lama yang telah usang. Selain itu, seluruh aturan pelaksana harus memperhatikan aspek-aspek perlindungan perempuan dan anti perdagangan manusia. Hingga hari ini, telah 2 tahun lebih, belum ada aturan yang signifikan itu diterbitkan. Seharusnya pemerintah Indonesia sudah menerbitkan 2 Peraturan Presiden, 11 Peraturan Pemerintah, 12 Peraturan Menteri dan 3 Peraturan Kepala Badan. Dari 28 aturan turunan yang seharusnya diterbitkan baru ada 3 Peraturan Menteri yang dibuat untuk menjalankan amanat perlindungan UU ini.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia mengatur soal asuransi dan jaminan sosial pekerja migran Indonesia melalui BPJS Ketenagakerjaan, namun aturan ini masih sangat terbatas cakupannya sehingga perlu didorong adanya aturan yang lebih komprehensif. Sementara itu, Permenaker No. 9 dan Permenaker No. 10 Tahun 2019 merupakan aturan turunan yang mereduksi dan memperlemah spirit perlindungan yang terkandung dalam UU No. 18/2017, karena 2 Peraturan Menteri ini tetap mengedepankan peran sektor swasta dalam tata kelola migrasi tenaga kerja. Secara hirarkis, Permenaker ini juga melampaui kewenangan tata kelola yang seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah.
Menjalankan amanat UU No. 18/2017 tidak hanya melalui penerbitan aturan turunan. Seharusnya pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan transformasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralisasi. Transformasi ini membutuhkan kesiapan dari pemerintah daerah, mulai dari propinsi, kabupaten/kota hingga pada tingkat desa.
Namun demikian hingga saat ini juga belum ada langkah signifikan dalam proses transformasi ini. Langkah pendirian Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di beberapa daerah kantong pekerja migran belum diikuti dengan pemaksimalan fungsi-fungsi layanan publik di daerah untuk mendukung berlangsungnya mekanisme pelayanan penempatan pekerja migran berbasis perlindungan di daerah. UU ini juga mengamanatkan bahwa pendidikan dan pelatihan juga akan lebih banyak dilakukan di daerah, namun hingga saat ini pemerintah masih lebih mengutamakan BLKN milik swasta untuk proses penyiapan calon pekerja migran.
Dalam kerangka desentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja, seharusnya pemerintah Indonesia (dalam hal ini pemerintah pusat) bisa belajar dari insisiatif-inisiatif lokal yang telah diterapkan di daerah-daerah basis pekerja migran.
Dengan melewati tenggat komitmen perlindungan sebagaimana yang diamanatkan UU No. 18/2017, Pemerintah Indonesia menjadi penanggungjawab utama atas keberlanjutan kerentanan yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Tidak adanya pengelolaan masa transisi yang sebenarnya merupakan tahapan yang penting untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan tata kelola migrasi masa lalu, serta merumuskan peta jalan perlindungan pekerja migran untuk ke depan, telah menghasilkan kekosongan aturan yang dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku-pelaku perdagangan manusia yang membonceng skema penempatan pekerja migran.
Pemerintah Indonesia juga memiliki kontribusi atas maraknya kasus perdagangan manusia dengan memproduksi kebijakan yang salah arah terkait dengan penempatan pekerja migran ke Timur Tengah. Kebijakan moratorium tanpa pengawasan memicu tingginya pasar gelap perekrutan pekerja migran ke Timur Tengah. Situasi makin sengkarut ketika Kementerian Ketenagakerjaan RI melakukan uji coba penempatan pekerja migran ke Saudi Arabia melalui skema penempatan satu kanal. Korban utama dari situasi yang silang sengkarut tersebut adalah perempuan pekerja migran.
Sepanjang tahun 2019 tercatat masih terjadi kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran Indonesia. Kematian Tamam (31 Oktober 2019) dan Ngatiyai (11 November 2019) dalam antrian pengurusan paspor di KBRI Kuala Lumpur adalah ironi tatkala Kementerian Luar Negeri selalu mengedepankan perlindungan WNI sebagai prioritas politik luar negeri. Ratusan ribu pekerja migran Indonesia di Malaysia masih berada dalam ancaman deportasi. Pemerintah pusat dan daerah juga tidak mengambil tindakan signifikan ketika ratusan mayat pekerja migran dipulangkan ke kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur.
Pekerja migran juga menghadapi kerentanan baru terkait dengan kebijakan keamanan negara tujuan bekerja. Yuli Riswati, perempuan pekerja migran yang juga menjadi citizen journalist Migran Pos dideportasi bukan hanya karena status keimigrasiaannya, tetapi juga juga aktivitasnya dalam mewartakan situasi demonstrasi anti RUU Ekstradisi di Hong Kong. Sementara di Singapura, tiga perempuan pekerja migran Indonesia harus menghadapi pengadilan atas dugaan pendanaan aktivitas terorisme.
Pada awal Desember 2019, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan penjara 11 tahun pada pelaku perdagangan manusia terhadap EH, yang dipekerjakan di Suriah dan Irak, dua negara yang hingga kini didera konflik berkepanjangannya. Putusan tersebut tentu harus diapresiasi, namun demikian dari pembacaan alur kasus ini terlihat bahwa selain pihak sindikat perdagangan manusia ternyata ada juga keterlibatan pihak Perwakilan RI. Migrant CARE meyakini, apa yang dialami EH juga kemungkinan masih dialami oleh ratusan bahkan ribuan perempuan Indonesia yang terjebak iming-iming bekerja ke Timur Tengah dengan upah tinggi.
Tantangan lain yang menghadang implementasi komitmen perlindungan pekerja migran adalah rencana legislasi Omnibus Law bidang Ketenagakerjaan. Legislasi ini ingin menyederhanakan seluruh UU yang terkait ketenagakerjaan dalam satu payung Omnibus Law Ketenagakerjaan/Cipta Lapangan Kerja. Jika UU No. 18/2017 termasuk obyek likuidasi UU untuk disatukan dalam Omnibus Law Ketenagakerjaan, maka komitmen perlindungan pekerja migran dalam UU No. 18/2017 hanya berumur pendek diatas kertas tanpa pernah terlaksana di lapangan.
Atas dasar hal tersebut di atas, Migrant CARE dalam Peringatan Hari Buruh Migran Sedunia menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk:
Segera menuntaskan seluruh aturan turunan dan kelembagaan tata kelola perlindungan pekerja migran sesuai UU No. 18/2017,
Segera menyusun peta jalan perlindungan pekerja migran Indonesia yang berorientasi pelayanan publik, berwatak desentralisasi dan bersperspektif keadilan dan kesetaraan gender,
Menolak likuidasi UU No. 18/2017 ke dalam rencana Omnibus Law bidang Ketenagakerjaan.
Surabaya, 17 Desember 2019
Narahubung:
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE (0812 9307 964)
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi – Migrant CARE (0815 78722874)