Penguatan Perspektif Korban dalam Isu Terorisme

SURAKARTA – Deklarasi ISIS pada tahun 2013 yang dilakukan di Suriah berdampak pada (warga) Indonesia yang ingin berbondong-bondong untuk bergabung. Menurut Direktur AIDA Hasibullah satrawi dalam Short Course Jurnalistik. hal ini terjadi karena mereka telah terpengaruh dengan propaganda media serta keterbukaan informasi.

Dalam memahami perspektif korban terorisme, Hasibullah menyampaikan bahwa media sangat berperan luar biasa dalam visi perdamaian. Karena melalui media, kita bisa mengampanyekan perdamaian melalui kisah nyata individu yang terlibat langsung dalam kekerasan, baik menjadi pelaku maupun korban.

Penguatan Perspektif Korban dalam Isu Terorisme

Para penyintas ini memaafkan para pelaku dengan kasih, yang dimulai dengan memaafkan diri sendiri. ”Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, tidak ada gunanya dendam. Karena Tuhan rela berkorban untuk manusia, sepatutnya juga saya ikhlas dengan kepergian orang yang saya kasihi,” tutur Wenny Angelina yang juga kehilangan anak akibat bom Gereja Surabaya 2018.

Memperkuat perspektif korban dalam pelatihan ini, penyintas dan mantan pelaku turut mengambil peran yang besar dalam mencegah terjadinya kekerasan. Korban tidak langsung Bom Kedutaan Besar Australia, Reni Sitania berbagi pengalaman. Ia mengatakan, ”Apapun yang telah terjadi dengan diri kita dengan keluarga yang kita sayang, kita tidak boleh menangis ataupun terpuruk.”
Seberat apapun yang Reni alami, ia harus tetap memaafkan karena iman. ”Kita jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi tetap mendoakan pelaku yang belum tobat agar sadar,” tuturnya dengan meneteskan air mata.

Besar harapan para penyintas agar hak-hak mereka yang belum terpenuhi segera direalisasikan oleh pemerintah. Agenda dengan tema Short Course Jurnalistik: Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang diadakan di Surakarta, 7-8 Desember 2019.
Dalam agenda tersebut Sejumlah narasumber hadir dalam pelatihan ini. Di antaranya Anggota Dewan Pers, Nezar Patria; Dosen Universitas Multimedia Nusantara, Hanif Suranto; dan Peneliti Terorime Universitas Indonesia, Solahudin. Selain itu, hadir pula pemeran utama dalam kegiatan pelatihan media, yakni pelaku dan penyintas terorisme.

Para peserta pelatihan mendapatkan banyak informasi mengenai kisah para penyintas sebagai agen perdamaian, yakni Ni Kadek Ardani, Ni Nyoman Pasarini yang keduanya adalah korban serangan bom Bali 2005, serta Wenny Angelina, korban langsung maupun tidak langsung bom Gereja Surabaya 2018. Mereka merupakan sosok yang tangguh karena melalui hari-hari dengan berbahagia dan penuh sukacita.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top