Pada 18 November 2019, menjelang pelaksanaan Festival HAM 2019 di Kabupaten Jember, Migrant CARE mengajak publik untuk mengenal hubungan antara pekerja migran dan ekstremisme kekerasan (violent extremism), yang belum banyak dipahami. Kali ini melalui pemutaran sinema dan diskusi. Diskusi tersebut sebagai gambaran kondisi pekerja migran Indonesia terus bergulir. Situasi terkini adalah tentang kerentanan pekerja migran di ambang paham ekstremisme berbasis kekerasan dan terorisme.
Film dokumenter berjudul “Pengantin” besutan Noor Huda Ismail, mengisahkan perjalanan Rizka (Peneliti di Yayasan Prasasti Perdamaian) yang bertemu dengan dua perempuan pekerja migran yang terlibat dengan jaringan radikalisme yang berujung pada aksi terorisme; Dian yang merupakan narapidana teroris kasus bom panci di Istana, dan Ika, yang terlibat pendanaan teroris.
Dalam diskusi sinema yang berlangsung, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, melempar kegelisahan “Mengapa mereka menyasar kelompok buruh migran? Ini menjadi perhatian kami yang bekerja untuk mengadvokasi buruh migran”. Wahyu juga menceritakan tentang perhatiannya yang sudah lama akan hadirnya ekstremisme kekerasan yang menyasar pekerja migran. Dari analisanya, ia menambahkan, “Sekitar 15 tahun yang lalu di Hongkong, Korea, Taiwan, terutama negara-negara Asia Timur, yang tumbuh adalah organisasi buruh berbasis serikat. Wataknya cenderung pada Trade Unionism: memperjuangkan hak buruh migran dan memperjuangkan upah, yang bersinergi dengan organisasi buruh migran yang lain. Di mana kini tak begitu tampak.”
Panelis kedua, Farha Ciciek, Founder Komunitas Tanoker, menekankan “Terjeratnya pekerja migran ke dalam lingkar teroris itu terbanyak dari proses kinship dan friendship. Pertemanan ataupun pengaruh keluarga.” Jadi menurutnya, disengagement atau pemutusan ideologi ekstremisme kekerasan yang berujung terorisme yang tepat adalah dengan menjaga keluarganya, agar tetap tak mendukung kegiatan ekstremisme kekerasan yang ada. Langkah ini diperlukan juga sebagai upaya untuk melakukan narasi perlawanan (counter narrative).
Farha dan Wahyu juga mengutarakan kekhawatirannya akan perempuan yang kini menjadi target untuk melakukan-melakukan aksi terorisme. Tidak hanya pola pelibatan laki-laki saja seperti yang dalam sepuluh/dua puluh mewarnai aksi terorsime. Dengan demikian, analisis gender yang mendetail diperlukan dalam konteks ini sebab sering ditemui perempuan kombatan adalah konsep yang dibuat karena dapat menebar ketakutan. Sesuai dengan maksud utama dari terorisme dan patriarkisme.
Selain memunculkan kerentanan-kerentanan yang dialami pekerja migran perempuan dalam kisah nyata, film “Pengantin” juga membawa misi edukasi agar tidak ada korban perempuan lainnya yang terjerat paham ekstremisme kekerasan. Dalam film ini dimunculkan peranan dari media sosial yang kuat dalam penyebaran paham ekstremisme kekerasan yang menargetkan perempuan sebagai sasarannya.