32 C
Jakarta
Senin, 14 Oktober 2024

Mulai Berhijrah di Jalan Damai

Jakarta – Sejumlah korban kekerasan eksremisme telah telah menjadi saksi atas kerusakan nyata dari kegiatan tersebut. bahkan, penderitaan yang dialami korban adalah bukti nyata betapa dampak aksi teror menghancurkan kehidupan. Menurut mantan pelaku ekstremisme Iswanto, keadaan itu membuatnnya berpikir ulang atas tindakannya. Bahkan, dirinya terinspirasi dari ketangguhan salah satu korban aksi tersebut.

“Dahulu, saya berjuang karena diperintahkan oleh guru, tetapi kini karena dorongan guru pula saya menyadari dampak kekerasan,” ujarnya di sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Indramayu, belum lama in.

Iswanto juga kemudian mengulas kembali pemahaman tentang jihad. Ia baca ulang buku-buku rujukan agama berbahasa Arab, kemudian ia menyadari bahwa makna jihad tidaklah terbatas pada aktivitas perang mengangkat senjata. Dengan tegas ia meyakini bahwa menimba ilmu dengan sungguh-sungguh semata-mata karena Allah, juga termasuk jihad. Setelah keluar dari jaringan kelompok kekerasan, ia memilih melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Saat ini ia berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah di Lamongan.

“Apa yang dahulu saya pelajari tentang jihad, ternyata tidak benar. Saya menyadari bahwa jihad tidak selalu berarti mengangkat senjata. Dahulu saya mengangkat senjata, sekarang saya memegang pulpen mengajarkan ilmu kepada anak-anak,” ujarnya.

Tekad dan niat Iswanto untuk hijrah makin mantab ketika AIDA mempertemukannya dengan sejumlah korban terorisme. Ia menyimak kesaksian para korban saat mengalami berbagai penderitaan akibat aksi teror. Hal yang membuatnya takjub adalah kebesaran hati korban. Meskipun terluka atau kehilangan orang tercinta, mereka mampu untuk bangkit bahkan memaafkan orang yang pernah terlibat dengan dunia terorisme.

Iswanto membayangkan bagaimana jadinya bila kejadian teror mengenai diri atau keluarganya. Ia mengaku belum tentu bisa memaafkan seperti yang dilakukan para korban. Dari lubuk hati terdalam, ia meminta maaf kepada korban-korban terorisme di Indonesia.

Sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas masa lalunya yang pernah bergabung dengan kelompok kekerasan, Iswanto kini berjuang untuk mengampanyekan perdamaian. Dalam berbagai kesempatan kegiatan AIDA, ia menegaskan bahwa cara-cara kekerasan tidak akan bisa menyelesaikan masalah. “Saya mendengarkan kisah korban yang terluka secara fisik dan psikis, serta banyak dari mereka yang merasakan dampak dari aksi setelah bertahun-tahun. Pesan saya jangan membalas kekerasan dengan kekerasan,” katanya.

Sebelum pertobatannya terjadi, pada 1997 di usianya yang masih muda, 19 tahun, ia telah berbaiat untuk bergabung dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI), yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Selama berada dalam jaringan ekstremis, ia pernah terlibat dalam aksi kekerasan yang terjadi di Maluku dan Sulawesi.
Pemahaman Iswanto muda kala itu praktis sama dengan yang didoktrinkan oleh guru-gurunya, menganggap jihad sebagai perang mengangkat senjata melawan pihak-pihak yang dipersepsikan sebagai musuh Islam. Pemerintah Indonesia dikategorikan termasuk pihak yang harus dimusuhi lantaran dinilai tidak berdasar pada ajaran Islam. Salah satu cita-cita kelompoknya adalah mengubah Indonesia menjadi negara berbasis agama.

Setelah teror Bom Bali 2002 terjadi hingga menewaskan ratusan jiwa, Iswanto mulai mempertanyakan doktrin kelompoknya. Meskipun ia tidak terlibat dalam aksi teror tersebut, namun ia menyadari para pelakunya ialah rekan-rekannya sesama anggota JI. Ia mengaku nuraninya berbisik, benarkah agama memperbolehkan aksi seperti itu, yang membunuh orang-orang awam, yang tak tahu-menahu urusan yang dipersoalkan kelompok teroris. Kegelisahan Iswanto makin memuncak ketika salah seorang guru yang dihormatinya, Ali Imron, menyuruhnya untuk menghentikan segala bentuk perjuangan dengan kekerasan.

Dalam perenungannya, Iswanto pun menyadari bahwa banyak korban dari aksi yang dilakukan kelompoknya adalah orang-orang yang tak bersalah, hanya sekadar lewat di dekat lokasi namun turut menjadi korban. Ia merasakan, faktor guru sangat memengaruhi dalam hidupnya. Dari guru ia direkrut ke dalam kelompok kekerasan, namun dari guru pulalah ia bisa bertobat dan kembali ke jalan perdamaian. [NIT]

TERBARU

Konten Terkait