Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengantin adalah orang yang sedang melangsungkan pernikahan. Pemaknaan yang dekat dengan pengantin adalah pernikahan, perkawinan dan pesta. Dan perasaan yang selalu tergambarkan dalam situasi tersebut adalah keriangan, kegembiraan dan kebahagiaan.
Namun, senyatanya, kata pengantin tak selalu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dalam realitas sosial politik dan budaya sekarang ini, kata pengantin bisa menjauh dari kedekatannya dengan perasaan kegembiraan dan kebahagian. Sebaliknya, kata pengantin telah berganti rasa menebarkan kerisauan, kegelisahan dan ketakutan.
Dalam ingatan sejarah, kerisauan pada praktek perkawinan anak telah diungkapkan para pejuang pergerakan perempuan Indonesia. Dalam Kongres Perempuan I tahun 1928 telah dibicarakan terjadinya praktik perkawinan paksa yang telah memaksa anak-anak perempuan menjadi pengantin. Bisa jadi mereka juga dipaksa menjadi pengantin sebagai istri kedua atau ketiga dalam perkawinan poligami.
Praktek perkawinan paksa itu adalah bentuk berbudakan eksploitasi. Praktek ini menggunakan utang yang menjerat sebagai perangkap. Eksploitasi ini menggunakan tafsir agama sepihak dan keangkuhan budaya patriarkis. Mereka yang menentang praktek ini dianggap melawan agama dan budaya.
Perjuangan menghapuskan perkawinan anak di Indonesia akhirnya berhasil. Beberapa pekan lalu, revisi terbatas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dengan mengubah syarat umur minimal untuk perkawinan menjadi 19 tahun.
Apa yang dialami anak perempuan yang dipaksa menjadi pengantin ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lainnya, praktek ini juga masih terjadi, utamanya di negara-negara miskin, terutama di Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika.
Sudah lama ada upaya global untuk menghapusnya. Pada 1956 Perserikatan Bangsa-Bangsa memperbaharui Konvensi Liga Bangsa-Bangsa tahun 1927 menentang Perbudakan dan Perdagangan Budak dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Perbudakan serta Bentuk-bentuk lain yang serupa dengan Praktek Perbudakan. Dalam Pembaruan Konvensi ini, disebutkan bahwa bentuk serupa perbudakan adalah perkawinan paksa yang dialami perempuan dengan jeratan utang ataupun pemaksaan kawin bagi perempuan pada pria lain yang masih berhubungan saudara dengan suaminya yang meninggal.
Praktik perbudakan dengan bentuk perkawinan paksa ini masih terus berlangsung sesuai dengan perkembangan jaman dan kondisi politik. Sekarang, ini perkawinan anak dan perkawinan paksa kembali masuk dalam definisi perbudakan modern (modern slavery). Dalam komitmen global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal), penghapusan perkawinan anak menjadi salah satu tujuan dan target, dengan tenggat waktu 2030.
Praktik pengantin pesanan (mail bride order) juga kembali marak di beberapa wilayah Indonesia untuk tujuan kawasan Asia Timur. Ini harus menjadi perhatian. Penulis, sekitar lima belas tahun yang lalu, menemukan praktek ini di wilayah Kalimantan Barat. Faktor utamanya adalah daya tarik kesamaan postur fisik (mengacu pada etnisitas) dan kemiskinan. Ini adalah bentuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja. Dahulu alur yang dipakai melalui cara manual: mengirim foto dan dokumen melalui jasa pos atau kurir manual. Perkembangan teknologi informasi memudahkan praktek ini. Foto dan dokumen dikirim melalui surat elektronik dan langsung diterima. Majalah TEMPO edisi 19 Maret 2001 menuliskan kisah pengantin pesanan ini dalam Rubrik Selingan bertajuk Mimpi Jadi Cinderella Di Singkawang.
Dalam situasi perang, perkawinan paksa juga menjadi bentuk penundukan pada pihak musuh. Dalam perang antara ISIS melawan penentangnya di Suriah, terjadi praktek perkawinan paksa, dengan korban perempuan Yazidi.
Kata pengantin menjadi menakutkan ketika dikaitkan dengan aksi teroris. Dari serangkaian aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia, para pelakunya disebut sebagai “pengantin”.
Selain sebagai kode atau sandi, julukan “pengantin” dipakai untuk memotivasi pelakunya berani mati karena dijanjikan masuk surge, menjadi pengantin bersama para bidadari. Istilah pengantin ini kemudian menjadi terminologi khusus untuk mereka yang bekerja dalam penanggulangan terorisme.
Film dokumenter “Pengantin” yang diproduseri Noor Huda Ismail, pengkaji masalah terorisme, mengawinkan makna asli pengantin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pengantin versi para teroris. Film ini berkisah tentang perkawinan online menjadi salah satu metode perekrutan calon teroris, baik sebagai simpatisan maupun pelaku aktif.