Jakarta – Puluhan jurnalis dari berbagai media cetak dan online mengikuti kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Terorisme 2019 di Hotel Sofyan, Jl Cut Meutia, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu-Kamis (3-4, Juli 2019).
Hadir sejumlah narasumber terkemuka, di antaranya Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam B. Prasodjo, Anggota Dewan Pers Nezar Patria, Dosen Universitas Multimedia Indonesia Hanif Suranto, dan peneliti kajian terorisme UI Solahudin. Selain itu, hadir pula mantan pelaku terorisme Kurnia Widodo, dan sejumlah penyintas terorisme bom Kampung Melayu, Thamrin dan Kuningan, yaitu Susi Afitriyani, Dwi Siti Romdhoni, dan Wartini.
Imam Prasodjo menjelaskan, di era politik identitas ini, media mempunyai peran penting untuk mencegah konflik dan perpecahan di kalangan masyarakat. Pasalnya, politik identitas berkaitan dengan potensi konflik yang berpengaruh kepada pemberitaan media. Menurut Imam, media juga bisa berkontribusi besar untuk mewujudkan perdamaian. “Media itu sebagai mediator pembaca dan penulis, oleh karena itu media bisa menjadi sebuah wadah perdamaian,” ujarnya.
“Media itu sebagai mediator pembaca dan penulis, oleh karena itu media bisa menjadi sebuah wadah perdamaian,”
Berkaitan dengan penjelasan Imam Prasodjo, Hanif Suranto, seorang akademisi sekaligus praktisi juga menjabarkan mengenai kurangnya peliputan media dalam perspektif korban, dan masih terfokus pada kekerasan itu sendiri. Ia mengatakan, seharusnya strategi peliputan bisa bersifat proaktif, yaitu mengerti atau membuka akar konflik dan mencegah kekerasan. “Media harus mengangkat peran korban sebagai bentuk peacemaking. Untuk mencapai perdamaian tersebut, para jurnalis bisa mengangkat pemberitaan dilihat dari hak-hak korban, empati terhadap mereka, sampai dengan nasib korban sampai saat ini,” tegas mantan jurnalis ini.
Para peserta kemudian mendapatkan banyak materi perspektif korban pada sesi berikutnya dan pada hari kedua pelatihan. Pada sesi malam, Wartini dan Susi Afitriyani berbagi kisah tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari sebagai korban bom terorisme. Meskipun menjadi seorang penyintas, mereka berdua menjalani hari-hari seperti biasa. Pasalnya, mereka mengaku telah berdamai dengan diri sendiri dan telah memaafkan para pelaku.
Menurut Susi Afitriyani yang akrab disapa Pipit, Tuhan memiliki sifat pemaaf. Maka ia belajar memaafkan kesalahan orang lain dan mengikhlaskan atas semua yang terjadi padanya. “Tidak ada alasan saya untuk tidak memaafkan, karena Tuhan adalah Maha Pemurah dan Pemaaf. Masa saya sebagai manusia tidak bisa memaafkan. Saya ikhlas memaafkan,” tutur Pipit dengan suara lirih. Wartini juga memberikan pesan perdamaian, bahwa para pelaku juga manusia. “Saya memaafkan mereka”, tuturnya dengan tegar.
Selain itu, mereka juga mengisahkan tentang kejadian serangan bom yang menimpanya. Setelah kejadian, mereka mengalami rasa sakit, trauma, takut, emosi yang tidak stabil dan sebagainya. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan tapi pasti, mereka mencoba untuk membuka diri, memaafkan diri sendiri, dan menerima dengan ikhlas atas semua kejadian yang telah ditakdirkan.
Perspektif korban berikutnya diperkuat oleh penyintas korban bom Thamrin, Dwi Siti Romdhoni yang akrab disapa Dwiki. Ia mengajak semua elemen masyarakat untuk bergandengan tangan menghindari berbagai konflik. Hal itu agar tidak ada lagi korban jiwa dan korban yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya seperti mereka. Dwiki berbagi pengalaman, “…ketika rasa benci timbul dari korban, maka rasa sakit itu akan semakin bertambah. Karena itu, kami memilih berdamai dengan keadaan… karena sifat cinta kasih adalah kunci untuk mewujudkan perdamaian,” ujarnya.
Para penyintas terorisme berharap agar hak-hak korban yang belum dipenuhi segera direalisasikan oleh pemerintah. Dwiki meminta para insan media bisa mendorong pemenuhan hak-hak tersebut. Ia pun menyampaikan alasannya, “Soalnya, para korban terorisme menjadi pihak yang paling banyak menderita, seperti harus kehilangan anggota tubuh, berobat bertahun-tahun dan orang-orang terkasih meninggal dengan cara yang tidak wajar.”
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi pun menegaskan bahwa perspektif korban terorisme dalam liputan media setidaknya mencakup dua hal, yaitu jurnalisme yang secara aktif menyuarakan pemenuhan hak-hak korban oleh pemerintah dan liputan mendalam yang menyampaikan pesan-pesan damai dari para penyintas.(NOV)