Jakarta – Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) menggelar bedah buku Perempuan dan Terorism, Rabu (15/5/2019). Kegiatan tersebut menghadirkan co-writer, Khoirul Anam, dan Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh.
Dalam kesempatan tersebut, Khoirul Anam memaparkan temuan di lapangan. Salah satunya adalah bahwa para perempuan ini mengalami ketidaksetaraan dalam rumah tangga, khususnya antara suami dan istri. Kondisi ini diperparah dengan kuatnya narasi keagamaan yang diterima perempuan bahwa istri wajib mematuhi apa pun kata suami.
Temuan ketiga dari penelitian tersebut adalah fakta bahwa para perempuan yang terlibat dalam kelompok dan gerakan radikalisme tersebut tidak sadar bahwa mereka telah radikal, yang tampak adalah mereka sudah tidak lagi mau menyapa para tetangganya yang tidak memakai jilbab atau orang-orang yang dianggap tak menjalankan ajaran Islam secara total.
”Bagi para perempuan ini, hal itu biasa saja. Mereka bahkan menilai apa yang dilakukan oleh suaminya, melakukan aksi teror, tidak salah dan hanya menjalankan ajaran agama,” ungkap dia usai bedah buku di International Finance Center.
Terkait dengan meningkatnya peran perempuan dalam terorisme, Anam menilai pemerintah harus menaruh perhatian kepada pihak laki-laki dan anak-anak yang terlibat sebab laki-laki memainkan peran utama dalam aksi terorisme ini dengan mengajak serta para istri mereka.
Saat ini, ketika perempuan terlibat radikalisme dan terorisme, program pemerintah tak hanya menyasar kalangan perempuan, sebabnya, masalah terdapat pada laki-laki. ”Sehingga, programnya seharusnya fokus ke laki-laki dan ke anak,” tekan dia.
Dalam beberapa kasus terorisme, ada banyak sekali perempuan dengan kondisi hamil dan melahirkan di penjara, lalu anaknya sampai beberapa tahun ada di penjara. Dia khawatir anak-anak itu akan mewarisi kebencian orang tuanya. Hal itu yang perlu segera ditemukan jalannya.
Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengatakan saat ini sedang ada pergeseran peran perempuan dalam kasus terorisme. Biasanya, perempuan hanya bersifat supportif, yaitu mendukung suaminya yang teroris, kini dapat berperan secara aktif. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri.
”Keadaan ini luput dari perhatian pemerintah. Padahal berbagai riset dan penelitian sudah menyebutkan bahwa perempuan berpotensi memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam gerakan radikalisme,” katanya.
Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah lembut sehingga tidak dicurigai oleh pihak yang berwajib. Terlibatnya kaum hawa dalam aksi terorisme ini, ujar Riri dikarenakan para pengikut ISIS laki-laki sudah banyak yang meninggal. Sehingga mereka menjadikan perempuan sebagai target sekaligus shamming atau tindakan mempermalukan laki-laki yang tidak punya keberanian untuk melakukan aksi bom bunuh diri misalnya.
Faktor lainnya, ungkap dia, kaum perempuan juga rawan terpapar ideologi dengan balutan sentimen agama yang berisi ajaran bahwa Indonesia adalah negara yang kurang Islami, karenanya perlu dilawan.
”Banyak dari kaum perempuan yang terlibat ini mengalami berbagai ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial, sehingga sangat mudah bagi kelompok radikal untuk merekrut para perempuan ini,” tegas dia.